BERITA TERBARU

Salam Pembebasan

Salam Pembebasan

Terbaru

Papua Merdeka

HAM & Politik

Coretan

Artikel

Senin, 16 Januari 2017

Mendengarkan rakyat Papua


Oleh Neles Tebay
Mendengarkan rakyat Papua
Dr. Neles Tebay - Dok. Jubi

PEMERINTAH Presiden Joko “Jokowi” Widodo mempunyai perhatian yang begitu besar terhadap Papua dan berkomitmen untuk mempercepat pembanguan di sana. Guna mensukseskan pembangunan di Papua, rakyat Papua perlu didengarkan.

Dalam kunjungan pertamanya ke Papua, Desember 2014, Presiden Jokowi sendiri sudah mengakui betapa pentingnya mendengarkan rakyat Papua. “Rakyat Papua tidak hanya butuh pendidikan, kesehatan, pembangunan jalan dan pelabuhan saja. Namun, rakyat Papua juga butuh didengar dan diajak bicara”, kata Jokowi di Jayapura (Tempo.co, 27/12-2014).

Presiden Jokowi, bahkan, menjadikan dialog sebagai fondasi untuk membangun Papua. “Semangat untuk mendengar dan berdialog dengan hati inilah yang saya gunakan sebagai fondasi untuk menatap masa depan Tanah Papua”, tambahnya.

Menurut keterangan Menkopolhukam Wiranto kepada para tokoh agama, tokoh adat, dan akademisi, di Jayapura, Presiden Jokowi berkeinginan untuk melakukan dialog dengan hati dengan rakyat Papua untuk mengetahui harapan dan keprihatinan mereka (Antaranews, 12/8, 2016).

Pemerintah bahkan berkomitmen untuk menyelesaikan masalah Papua melalui dialog sehingga ingin melakukan dialog damai dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu menegaskan, “Pemerintah akan terus melakukan dialog damai secara bertahap dengan kelompok-kelompok di Papua yang selama ini dianggap sebagai ancaman seperti Organisasi Papua Merdeka”, kata Ryacudu (CNN Indonesia, 27/5, 2015).

Presiden Jokowi dan pemerintahannya telah memilih jalan dialog membangun Papua dan menyelesaikan masalah-masalah di sana. Rakyat Papua juga menanti kesempatan berdialog dengan pemerintah.

Dalam dialog, rakyat Papua diberikan kesempatan untuk menyampaikan masalah, kebutuhan, dan harapannya. Dengan mendengarkan langsung dari mereka, Presiden dapat memahami berbagai permasalahan di Papua dari perspektif rakyat dan mengetahui bidang apa yang seharusnya menjadi prioritas pembangunan. Pembangunan dimulai dengan menjawab masalah yang dirasakan oleh rakyat. Dengan cara seperti ini, pemerintahan Jokowi dan rakyat Papua dapat mempunyai pemahaman yang sama tentang pembangunan, serta secara bersama menyelesaikan berbagai permasalahan dan menatap masa depan Papua.

Dengan dilibatkan dalam dialog, rakyat Papua akan merasa harga dirinya dihormati dan pandangannya didengarkan pemerintah. Maka, rakyat Papua akan semakin percaya kepada pemerintah. Mereka akan mempunyai rasa memiliki terhadap proses dan hasil dari dialog yakni pembangunan yang dilaksanakan di Tanah Papua. Kalau demikian, Bagaimana caranya melibatkan semua rakyat Papua dalam proses dialog?

Dialog Nasional

Proses dialog yang ditawarkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui policy brief-nya berjudul “Dialog Nasional: Membangun Papua Damai” (2016) dapat digunakan sebagai sebagai bahan acuan.

Dialog nasional, menurut LIPI, dilaksanakan secara bertahap. Pertama, proses dialog nasional dimulai oleh Presiden dengan menunjuk seseorang sebagai “Utusan Khusus” yang bertugas khusus untuk mempersiapkan dan menjamin terlaksananya dialog nasional.

Kedua, diadakan dialog internal pemerintah yang melibatkan semua kementerian/ lembaga di Jakarta untuk membangun pemahaman bersama tentang akar masalah dan menyepakati solusi bersama secara komprehensif.

Ketiga, dilaksanakan dialog internal Papua di Tanah Papua. Dialog pada tahap ini melibatkan masyarakat adat Papua, paguyuban migran, kelompok agama, pemerintah daerah (MRP/PB, DPRP/PB), LSM, media, kelompok kaum muda, akademisi, kelompok perempuan, kelompok professional, partai politik, pengusaha, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB), dan orang Papua di luar negeri. Dialog internal ini bertujuan untuk membangun pemahaman bersama tentang akar masalah dan menyepakati solusi bersama secara komprehensif, mencapai pemahaman bersama antara seluruh warga Papua tentang Papua Tanah Damai, serta  membangkitkan kesadaran, komitmen, dan keterlibatan semua warga Papua dalam menciptakan dan memelihara Papua sebagai Tanah Damai.

Keempat, diselenggarakan rangkaian dialog sektoral. Menurut LIPI, dialog sektoral adalah forum yang menghadirkan pihak-pihak terkait untuk membahas perencanaan dan pelaksanaan program pada sektor tertentu seperti pendidikan, kesehatan, HAM, kebudayaan, dll. Dialog sektoral perlu diadakan untuk menyelaraskan program-program kementerian/lembaga beserta pendanaannya sesuai dengan aspirasi masyarakat di Tanah Papua. Peserta dialognya adalah pemerintah pusat (kementerian/lembaga terkait), dinas terkait dari provinsi dan kabupaten/kota, elemen-elemen masyarakat sipil (LSM, perguruan tinggi, dan pihak lain yang terkait), dan media.

Kelima, diadakan dialog nasional untuk rekonsiliasi. Dialog nasional ini dihadiri oleh perwakilan pemerintah pusat dan elemen masyarakat sipil yang direkomendasikan dari Konferensi Perdamaian Papua (KPP) tahun 2011. Dialog nasional pada tahap kelima ini membutuhkan mediator yang adalah pihak ketiga yang disepakati oleh pemerintah dan masyarakat Papua. Tempat, waktu, dan agenda dialog nasional ditentukan kemudian dan harus disepakati bersama.

Keseluruhan proses dialog nasional akan berdampak pada terciptanya Papua sebagai Tanah Damai dalam rumah Indonesia, dimana orang yang hidup di Bumi Cenderawasih dapat menikmati keadilan, partisipasi, rasa aman dan nyaman, harmoni, kebersamaan dengan orang lain, pengakuan terhadap harga diri, komunikasi yang benar, kesejahteraan, kemandirian, dan kebebasan dalam berbagai aspek kehidupan.

Diharapkan bahwa dialog ini dapat terjadi sebelum masa pemerintahan Jokowi berakhir tahun 2019. (*)

Penulis adalah dosen STF Fajar Timur dan Koordinator Jaringan Damai Papua di Abepura

Sumber: Jubi Papua

HAM Papua di mata Dunia International saat ini

Oleh : Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi
HAM Papua di mata Dunia International saat ini
Ilustrasi/Doc Jubi
BEBERAPA tahun lalu sebanyak 14 negara dari 74 negara yang hadir dalam sidang Working Group Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB, menyoroti masalah pelanggaran HAM di Tanah Papua.

Negara maju yang hadir dalam sidang pada tanggal 23 Mei 2012 dan menyoroti masalah HAM tersebut adalah Amerika Serikat, Australia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Meksiko, Norwegia, Prancis, Selandia Baru, Spanyol, Swiss. Sidang digelar sebagai mekanisme laporan 4 tahunan (2008-2012) di Swiss.

Ternyata jumlah negara yang menyoroti masalah HAM meningkat cukup tajam dibandingkan evaluasi yang dilakukan pada tahun 2008 di mana hanya lima negara (Jerman, Prancis, Kanada, Belanda, Inggris) yang menyoroti masalah pelanggaran HAM di Papua.

Pada tahun 2014, tepatnya 26 Maret 2014 (2 minggu sebelum Pemilu Legislatif di Indonesia, 9 April 2014), 16 anggota Parlemen Uni Eropa (Graham Watson, Barbara Loch Bihler, Ana Games, Ivo Vajgl, Fiona Hall, Keith Taylor, Sarah Ludford, Leonidas Donskis, Jelko Kacin, Susy de Martini, Vilja Savisaar- Toomast, Ifiaki Irazabalbeitia, Jean Lamberry, Bart Staees, Raul Rameva I Rueda dan Catherine Bearder), menyurati High Representative of The Union for Foreign Affairs and Security Policy, H.E. Baroness Catherine Ashton untuk menindaklanjuti masalah Pelanggaran HAM di Papua sebagai kelanjutan Rapat Dengar Pendapat anggota parlemen pada tanggal 23 Januari 2014.

Dalam pandangan anggota parlemen Uni Eropa tersebut, kembali digaris bawahi bahwa sejak integrasi Papua ke dalam Indonesia pada 1 Mei 1963, telah terjadi banyak kekerasan. Banyak orang Papua dibunuh, akibat operasi-operasi militer yang dilancarkan pada tahun 1960- 1980. Menurut pandangan mereka:

”Sementara kejahatan massal yang terjadi tidak diakui oleh Indonesia, pemerintahnya berupaya memperkenalkan adanya reformasi di Papua sejak tahun 1996. Militer dan Polisi telah dipisahkan dan Papua Barat telah diberi Otonomi Khusus pada tahun 2001. Namun reformasi yang sedang berlangsung tidak dapat menghasilkan akuntabilitas pihak keamanan terhadap pelanggaran -pelanggaran Hak Asasi Manusia”.

Anggota parlemen UE dalam surat tersebut, juga mengemukakan laporan dari gereja-gereja dan berbagai organisasi HAM di Papua tentang praktekpraktek pembunuhan kilat, penganiayaan, penahanan paksa, pembantaian dan larangan menyatakan pendapat secara bebas. Bahkan terjadi kepincangan dalam sektor pendidikan dan pelayanan kesehatan yang tidak memuaskan.

Dilaporkan juga bahwa sejak tahun 2014 terdapat 74 tahanan politik, bahkan sekitar 25 aktivis dan warga masyarakat terbunuh antara Oktober 2011 sampai Maret 2013. Ekspresi pendapat secara damai, tentang aspirasi Papua merdeka, diredam dan dilarang secara paksa tanpa proses hukum. Para aktivis ditahan dan dituntut 20 tahun dalam penjara.

Mereka menilai bahwa dalam iklim konflik dan pelanggaran HAM yang demikian, maka: ”Pengamat PBB, organisasi kemanusiaan dan organisasi hak asasi manusia serta wartawan independen secara berkala ditolak atau berhadapan dengan pengaturan yang ketat untuk masuk ke Papua Barat. Selanjutnya , NGOs lokal terus melaporkan kejahatan oleh militer Indonesia terhadap masyarakat sipil di Papua.

Menyesalkan penjualan senjata kepada Indonesia oleh negara-negara Uni Eropa, karena tidak mungkin dapat memonitor apakah senjata-senjata tersebut digunakan terhadap masyarakat sipil, mengingat tidak ada akses untuk organisasi internasional atau wartawan masuk ke wilayah itu.

Mereka juga menggaris bawahi adanya permintaan rakyat Papua untuk membuka ”Dialog Papua-Jakarta”. Para anggota Parlemen UE menyatakan bahwa hal ini sejalan dengan keinginan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam beberapa pernyataan beliau tentang dialog.

Pada rapat kabinet tanggal 9 November 2011 Presiden SBY mengatakan:  ”Dialog antara pemerintah pusat dan saudara kita di Papua itu terbuka. Kita mesti berdialog, dialog terbuka untuk mencari solusi dan opsi mencari langkah paling baik selesaikan masalah Papua”.

Hal ini sejalan dengan apa yang yang ditegaskan oleh Presiden RI ke-7 Joko Widodo pada perayaan Natal Nasional di Jayapura, 27 Desember 2014:  ”Rakyat Papua juga butuh didengarkan, diajak bicara. Kita ingin akhiri konflik. Jangan ada lagi kekerasan”.

Para anggota parlemen UE meminta untuk Uni Eropa segera mengambil langkah-langkah sebagai berikut; Pertama, mendorong otoritas Indonesia untuk secara aktif berdialog dengan rakyat Papua Barat sebagai suatu solusi damai, sesuai seruan para aktivis damai baik di Papua maupun di Jakarta.

Kedua, meminta Indonesia untuk membuka isolasi wilayah konflik agar ada akses bagi pengamat independen termasuk pengamat Uni Eropa serta badan HAM PBB dan melindungi kebebasan media lokal di Papua. Ketiga, Meminta Indonesia untuk membebaskan para tahanan politik dan mengakhiri praktik penahanan mereka-mereka yang terlibat dalam aksi politik damai dengan tuduhan tindakan kejahatan.

Keempat, mendukung reformasi di Indonesia, agar para personel pihak keamanan yang melanggar HAM masyarakat sipil dapat diadili secara bertanggung jawab oleh pengadilan militer yang telah di reformasi dan penyiksaan yang dilakukan harus di proses sesuai ketentuan-ketentuan PBB.

Kelima, meyakinkan bahwa senjata yang diberikan kepada Indonesia oleh negara-negara Uni Eropa tidak digunakan terhadap masyarakat sipil. Dengan meningkatnya sorotan internasional selama 53 tahun (1 Mei 1963-1 Mei 2016) Papua integrasi dengan Indonesia, menunjukkan bahwa perhatian internasional akan terus meningkat di masa mendatang terutama terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM maupun inkonsistensi pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua oleh Pemerintah.

Kita selama ini memandang penyelesaian Papua dapat dilakukan melalui pendekatan ekonomi. Padahal kita mengetahui bersama bahwa permasalahan di Papua sangat kompleks dan rumit, sehingga tidak dapat disederhanakan dengan hanya pendekatan ekonomi belaka. Suara hati orang asli Papua harus didengar.

Rakyat Papua harus diajak berdialog untuk menyelesaikan akar permasalahan di Papua secara tuntas dan bermartabat. Dalam kunjungan kedua pada tanggal 9 Mei 2015, dimana Presiden mencanangkan beberapa proyek pembangunan di Papua, dan juga memberikan grasi kepada lima narapidana politik, Presiden Jokowi menyatakan; ”Kita ingin menciptakan Papua dan Papua Barat sebagai wilayah yang damai, adil, dan sejahtera. Kalau ada masalah di provinsi ini segera diguyur air dan jangan dipanas-panasi lagi sehingga persoalan tersebut menjadi masalah nasional, bahkan internasional.”

Indonesia sebagai negara demokrasi nomor 3 di dunia perlu introspeksi diri manakala ada kekhawatiran yang berlebihan dengan memberi stigma separatis terhadap saudara-saudaranya orang Papua yang berbeda pendapat.

Pandangan tersebut tentunya sangat disayangkan dalam alam demokrasi dewasa ini. Menlu RI Marty Natalegawa setelah menghadiri sidang UPR Dewan HAM PBB di Swiss, 23 Mei 2012 mengatakan, bahwa isu hak-hak asasi manusia merupakan isu yang masih efektif sebagai pintu masuk internasionalisasi masalah Papua.

Secara implisit Menlu Marty ingin menegaskan bahwa masalah pelanggaran HAM di dalam negeri, terutama di Papua, belum ditangani dengan baik, dan menjadi alat efektif untuk internasionalisasi masalah Papua. Secara politik hak-hak konstitusional masyarakat asli Papua untuk hidup di alam kemerdekaan yang demokratis sebagai anak Indonesia masih jauh dari harapan.

Kita sangat meyakini bahwa tatanan sosial, ekonomi, politik maupun budaya yang selama 53 tahun diwarnai kekerasan di Tanah Papua bukan merupakan pilihan ideal bagi siapa pun di bumi Nusantara tercinta ini. Harapan rakyat Papua di bawah Presiden Jokowi, mereka dapat dibebaskan dari rasa ketakutan selama ini dan dapat bangkit kembali untuk membangun diri dan lingkungan mereka dalam keberagaman jati diri Indonesia yang adil, damai, demokratis dan sejahtera.

Semoga 53 tahun integrasi dengan Indonesia, ada banyak ”Lessons learned” perihal Papua demi meraih Papua Tanah Damai dalam bingkai NKRI.  (*)

Penulis adalah Tokoh Masyarakat Papua, mantan Gubernur Papua dan pernah menjabat sebagai Menteri Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Sebagai militer ia pernah menjabat sebagai Komandan Pangkalan Utama TNI AL V Irian Jaya-Maluku.

Sumber: Jubi Papua

Bicarakan keanggotaan West Papua, Sogavare mulai tur MSG

Ketua Melanesia Spearhead Group (MSG), Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare saat bertemu pimpinan ULMWP di Honiara tahun lalu – Jubi/Victor Mambor
Jayapura, JUBI - Ketua Melanesia Spearhead Group (MSG), Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare memulai turnya ke Ibukota negara-negara anggota MSG, Jumat (13/1/2017).

Dilansir RNZI (13/1) Tur ini dilakukan Sogavare setelah gagalnya penyelenggaraan KTT para pemimpin MSG tahun lalu akibat perbedaan pandang bagaimana memposisikan diri terhadap isu West Papua.

Bulan lalu, beberapa menteri luar negeri negara-negara MSG bertemu di Port Vila dan membuat rekomendasi keanggotaan MSG, namun Frank Bainimarama , Perdana Menteri Fiji tidak hadir.

Kepulauan  Solomon dan Vanuatu selama ini yang terus membuka diri mengakomodir keanggotaan penuh West Papua di MSG sementara Fiji dan PNG menolaknya.

Indonesia yang menganggap West Papua adalah bagian Melanesia dari NKRI, sebagai anggota asosiasi berkeinginan mencegah ULMWP mendapatkan keanggotaan penuh di MSG.

Sogavare dijadwalkan bertemua Charlot Salwai, kolega politiknya di Port Vila serta juru bicara gerakan FLNKS Kaledonia Baru, Victor Tutugoro. DIa kemudian bertolak ke ke Suva, Fiji dan Port Moresby, PNG.

Menurut informasi kantor Perdana Menteri Kepulauan Solomon, melalui tur tersebut Sogavare juga akan mengajukan Revisi Kriteria status Keanggotaan Observer, Keanggotaan Associate dan Pedoman baru MSG kepada para pemimpin tersebut.

Perdana Menteri bersama delapan anggota delegasinya, termasuk sekretaris MSG, pejabat kementerian luar negeri dan perdagangan serta anggota kepolisian khusus akan kembali ke Honiara 26 Januari mendatang.(*)

Sumber: Jubi Papua

Selasa, 03 Januari 2017

Tak Semua Bisa Sepertimu Alexander Yemi Yanto Togodly

Alexander Yemi Yanto Togodly, Pejuang Pembebasan Papua Barat, Sekretaris Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] Komite  Kota Surabaya, Jawa Timur.
Alexander Yemi Yanto Togodly, Pejuang Pembebasan Papua Barat, Sekretaris Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] Komite  Kota Surabaya, Jawa Timur.  
Jiwa dan Anuhgerah yang besar kau miliki itu membuatmu jatuh sakit, membuat mereka yang tak senang perjuanganmu yang mulia itu tersenyum, seolah kau adalah pencuri dan penghianat, namun rakyatmu yang kau tinggalkan tahu bahwa kau adalah pejuang pembebasan, mereka tahu kebenaranmu.

Kebenaran yang kau miliki membuatmu pergi begitu cepat, kau pekerja keras, kau tak kenal lelah, kau tak kenal takut, kau mengorbankan segalah yang kau miliki, kau adalah sosok yang peduli atas kaummu, kau selalu berkata kenapa harus rakyatku yang tersiksa ditangan orang tak bertangungjawab, itu membuatmu tersiksa dan kau tinggalkan sisah perjuanganmu untuk diketahui siapa sesunguhnya dirimu.

Disini aku mengores untukmu, aku tahu siapa dirimu, kau telah menyadarkan kami untuk mengikuti kebenaran yang kau tinggalkan, perjuanganmu tidak akan sia-sia, kau telah menyadarkan banyak mahasiswa disini untuk membebaskan kaum tertindas ditanahnya sendiri, walaupun aku tahu aku bukanlah seorang pejuang tetapi aku mengetahui bagaimana sosok para pejuang yang sudah pergi dan termasuk dirimu Alexander Yemi Yanto Togodly, kau telah pergi begitu cepat, kau yang mudah, aku mengenalmu, kaulah pejuang termudah, kaulah sosok jiwa mudah yang penuh keras kepala.

Dikelak nanti generasi kaumu akan mengukir sejarahmu, bersama orang-orang hebat lainnya yang telah pergi karena kebenaran, kalian adalah pemilik hati besar, pemilik hati mulia, pemilik hati pembebasan, tak mau rakyatmu ditindas, tak mau hakmu dirampas, tak suka melihat mereka menangis, orang-orang hebat seperti kalian selalu pergi dengan cepat dan selalu begitu, hanya penghianat yang selalu bertahan hidup.

Nami yawu yongo nogo wagadogogin dektire, an nil wulagik ar dogogin o namiak.
Yogonda Nami, Yemi Yanto Aleksander Togodly. Someday we'll meet again.

By. Wandikbo BL

Senin, 02 Januari 2017

SEMUA KEJAHATAN PEMALSUAN PENIPUAN INDONESIA

Solidaritas Hollywood/foto-twitter
SEMUA KEJAHATAN PEMALSUAN PENIPUAN INDONESIA
MENGUASAI DAN MENDUDUKI WILAYAH PAPUA BARAT TIDAK ADA DASAR HUKUM YANG JELAS (CACAT HUKUM INTERNASIONAL).


Pelaksanaan PEPERA 1969 (Self-Determination) serta Hasilnya dalam Sidang Majelis Umum PBB dan Protes Negara-Negara Anggota PBB
a) Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat Oleh Pemerintah Republik Indonesia

Akhirnya, Penentuan Nasib Sendiri (Self-Determination) di Papua Barat telah dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia dari tanggal 19 Juli 1969-4 Agustus 1969, yang dimulai dari Merauke sampai Sorong dan berkahir di Hollandia, Papua Barat.
Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat adalah tidak sesuai dengan New York Agreement 15th August 1962, dan juga tidak berdasarkan praktek Internasional sesuai mekanisme Perserikatan Bangsa-Bangsa, dimana lasim digunakan dalam Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi daerah jajahan, berdasarkan aturan Hukum HAM Internasional.

Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat adalah dengan cara Indonesia yaitu, MUSYAWARA yang tidak pernah dilaksanakan oleh PBB di Negara mana pun di muka bumi. Hal ini adalah tindakan liar, yang pada hakekatnya adalah KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN.

b) Protes Bangsa Papua atas Pelaksanaan PEPERA 1969

Dengan demikian, maka pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat oleh Pemerintah Indonesia tidak dapat dibenarkan oleh siapa pun dan dari Hukum mana pun di Dunia. Itu sebabnya, bangsa Papua di bagian Barat pulau New Guinea telah melakukan protes keras dan sedang berjuang terus untuk memperoleh Hak Menentukan Nasib sendiri berdasarkan Legal Procedure, yang lasim digunakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menangani wilayah konflik, dimana merupakan daerah Jajahan yang dapat menjadi sengketa politik.

c) Protes Negara-Negara Anggota PBB atas Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua dalam Sidang Majelis Umum PBB
 
Pada tanggal 3 November 1969, Hasil PEPERA 1969 di Papua Barat telah dilaporkan secara resmi oleh dua pihak. Laporan pihak pertama adalah oleh Wakil Pemerintah Republik Indonesia, yang diwakili oleh Soebandrio. Dan Laporan Pihak Kedua adalah oleh utusan PBB, yang mana diwakilkan oleh Dr. Fernandez Ordiz San. Setelah mendengar laporan dari kedua belah pihak, maka Negara-Negara Afrika dan Karibian yang dipimpin langsung oleh Chana dan Cabon telah dapat melakukan pengajuan keberatan atas laporan, tentang hasil Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat.
Hal ini dapat terjadi karena dinilai bahwa Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua bermasalah, dan juga metode pelaksanaannya tidak berdasarkan Mekanisme PBB. Kemudia Negara-Negara Afrika dan Caribian mengajukan permohonan penundaan waktu dua minggu untuk mempelajari Document yang dimaksud. Mengapa? Karena laporan ini perlu waktu yang cukup untuk di pelajari, kemudia dapat mengajukan dalam Sidang Lanjutan.

Akhirnya, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima usulan Channa dan Cabon kemuadian sidang ditunda untuk waktu dua minggu, terhitung dari tanggal 4 November 1969.

Selanjutnya, Majelis Umum PBB membuka kembali Sidangnya pada tanggal 19 November 1969, dengan agenda mendengarkan draf usulan dari Negara-Negara pihak protes dan juga oleh Indonesia dan Belanda.

Kemudian, Negara-Negara pihak protes, mengajukan draf dengan Resolusi bahwa Referendum ulang harus dan wajib dilaksanakan di Papua Barat dalam tahun 1975, dengan dasar alasan yang rasional. Mengapa? Karena setelah mempelajari laporan Indonesia dan Utusan PBB atas pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat, menunjukan bahwa hasil PEPERA tidak sah dan melanggar prosedur Internasional dan Musyawara adalah cara yang unik dan tidak dapat di terima oleh akal sehat.
Setelah mendengar draf usulan Negara-Negara Pihak protes, selanjutnya kiliran bagi Indonesia dan Belanda. Akhirnya, Belanda dan Indonesia mengajukan draf usulan bersama bahwa mereka siap membangun Papua, dengan perjanjian bahwa Indonesia siap melaksanakan pembangunan dan membangun Papua, yang terutama di bidang Pendidikan, Kesehatan dan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan bagi penduduk setempat, dan Belanda siap memberikan suntikan Dana demi terwujudnya semua program yang di masukan dalam draf usulan.

Dengan demikian Majelis Umum PBB dengan sangat hati-hati dan teliti, mengumumkan bahwa Sidang terhormat menerima draf usulan Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia.

Mengapa draf usulan Indonesia dan Belanda dapat di terima oleh Sidang Majelis Umum PBB?

Karena memang, Indonesia dan Belanda di backup penuh oleh Amerika Serikat dan PBB. Hal ini adalah suatu manuver politik kotor atas kepentingan Amerika dan Indonesia di Papua Barat, yang mana mengorbankan Hak Politik bangsa Papua Barat untuk Menentukan Nasib Sendiri, dan berdiri sebagai bangsa yang merdeka.

Berdasarkan draf usulan Indonesia dan Belanda, maka Majelis umum PBB telah mencatat dengan Resolusi 2504. Ingat, bahwa Resolusi ini bukan merupakan Pengesahan Hasil PEPERA 1969, melainkan hanya sebagai catatan (TAKE NOTE) untuk melengkapi prosedur Sidang tahunan PBB.

Semua ini terbukti dari Archive PBB yang tersimpan pada Kantor Pusat PBB di New York, Amerika Serikat, yang mana telah dapat diteliti oleh Dr. John Salfor (Akademisi Inggris) dan juga dapat diperkuat dari Buku karya Prof. P.J. Drooglever (Guru Besar Leiden University, Belanda).

Sumber: Faceook- Balingga Aminus
 

Top